“Ken, Buk.” Jawab ken.
Ibu pun membukakan pintu untuk ken. Ekspresi ibu sangat tidak seperti biasanya. Beliau diam. Ken gak tahan melihat perubahan itu. Ken bingung harus bagaimana menghadapi kasus ini. Kembali lagi fikirannya harus berfikir ekstra tanpa tau apa yang harus difikirkannya. Ah! Sudahlah fikirnya. Dia memutuskan untuk mengerjakan semua kewajibannya dan langsung masuk kamar. Dia terlelap di kamarnya. Beberapa lama kemudian, ken tersentak bangun karena pintu kamarnya dibuka oleh ribu.
“Bisa minta tolong, Ken?”
“Apa ribu?”
“pergi dulu ke kedai.”
“Iya ribu.” Ken pun pergi ke kedai untuk membeli sesuatu.
Sepulangnya dari kedai, ribu meminta kami berkumpul. Tapi ken tetap saja tidak tenang, ken merasa segan karena kesalahannya. Ah si ken… setelah ribu pulang, ken memberanikan diri untuk minta maaf atas semua yang terjadi.
“Ken minta maaf, buk.”
“Iya, sudah ibu maafkan. Sekali lagi, kalau mau tidur di sekolah minta izin aja langsung. Jangan pakai sms. Rumah kita kan dekat dari sekolah. Apa susahnya pulang untuk minta izin dulu. Lagian, untuk tidur di sekolah kan harus ada persiapan. Seperti jaket, selimut, atau kaus kaki. Kemarin kan ken Cuma pakai jaket. Kalau terjadi apa-apa, gimana?”
“Iya buk.” Hanya inilah yang bisa dijawab ken.
“Jadi, boleh ken tidur di sekolah selama LDK ini aja?” pinta ken.
“Iya boleh.” Jawab ibu.
“Terima kasih, buk.”
Akhirnya ken mendapat izin untuk mengikuti acara tersebut. Seneng banget rasanya, hehehe. Hari ini hari ketiga acara LDK. Dengan hati riang gembira ken datang lagi ke sekolah. Dia ditunjuk sebagai moderator di acara penutupan gelombang pertama. Setelah itu, peserta pada gelombang pertama pulang. Tinggalah panitia dan guru yang berbuka bersama. Setelah berbuka bersama, seperti biasa ken dan teman-temannya mencuci piring dan membereskan semuanya. Sekitar pukul 8 malam ken pulang.
Keesokan harinya, ken bangun terlambat. Lagi-lagi ken menambah masalah. Hmmm…
“Pokoknya, kalo ken belum selesai menyapu, mengepel, dan mencuci piring, ken tidak boleh ke sekolah. Paham?” ucap ibu.
“Iya buk.” Kata ken.
“Aduh, aku pembawa acara pembukaan pada gelombang kedua.” Fikir ken. Dia mengerjakan semuanya dengan tempo yang sesingkat-singkatnya. Setelah selesai,
“Udah selesai?”
“Udah, buk. Ken mau siap-siap kesekolah dulu.”
“Iya, ntar pake baju ini ya.”
Sepasang gamis berwarna ungu itu kini ada didepan mata. “Buat ken, Buk?”
“Iya, pakailah.”
“Makasih ya buk.”
“Iya.”
Hmm, ken sangat bahagia. Ibu terlalu menyayanginya. Padahal masalah demi masalah dibuatnya. Setelah dia berberes-beres, dia meminta izin untuk pergi ke sekolah dengan gamis yang dikenakannya. Ibu memandangnya dan tersenyum.
Sesampainya disekolah, temen-temennya tersenyum-senyum melihat penampilan dengan gamis baru pemberian ibu tersebut.
“Cie cie baju baru dia.”
“hehehe iya, ibu yang kasih.”
Kegiatan disekolah berlangsung dengan lancar. Sekitar pukul 16.00 WIB, dia dan temannya, si sinta, diminta untuk membantu salah satu guru yang bertugas untuk menyiapkan menu berbuka puasa. Ken pergi dari sekolah menuju ke rumah guru tersebut. Sangking asyiknya menyiapkan makanan, mereka lupa waktu. Cuaca yang buruk pun datang dan mengepung mereka di rumah dan tak bisa kemana-mana.
Hujan yang deras mengguyur kota kecil ini. Setelah hujan benar-benar reda, ken dan sinta melakukan perjalanan kembali ke sekolah. Di tengah perjalanan, ereka melihat suasana kota yang sedikit berantakan karena hempasa hujan dan angin yang kencang. Mereka pun sampai di sekolah. Mereka segera menyiapkan makanan berbuka yang telah mereka bawa ke tempat-tempatnya. Buka puasa telah tiba, namun cuaca masih saja buruk, hujan plus listrik padam.
Ibu gak datang keacara buka puasa bersama di sekolah. Mungkin karena cuacanya buruk. Setelah selesai sholat maghrib, ken memutuskan untuk pulang.
“Aku pulang, ya.” Kata ken pada teman-temannya.
“Nanti balik lagi, kan?” Tanya salah satu temannya.
“Iya. Aku kan piket hari ini. Jadi, ya aku emang harus tidur sini lah.”
“Okelah ken. Hati-hati ya.”
“iya”
Ken berjalan dalam kegelapan malam. Tak berapa lama, sampailah ken di depan rumah.
“Assalamu’alaikum, Ibu…” ucap ken.
“Wa alaikum salam. Siapa?
“Ken, buk.”
Ibu membuka pintu dan mempersilahkan ken masuk.
“Ken, kalo gak berani tidur di kamar atas, ken tidurnya di kamar depan aja ya.”
“Iya, buk. Tapi ken sudah janji dengan mereka kalo mau tidur di sekolah.”
“Sekarang ibu Tanya. Ken tinggal sama ibu atau sama mereka? Terserahlah.” Kata ibu tegas waktu itu.
Bersambung…


“Iya buk. Maaf.” Ucapnya pelan kala itu. Ken sebenernya belum mengerti dengan kata-kata ibu barusan. Apakah salah jika Ken memilih untuk istirahat sebentar sebelum menyuci piring dan menyapu? Ken gak mempermasalahkan kecerewetan seseorang karena mamaknya adalah wanita yang super (cerewetnya). Terus, apa sebenarnya pemicu ibu ngomong gitu? Dari tahun 2011 hingga sekarang untuk permasalahan yang 1 ini Ken gak tahu. Tapi yang pasti, Ken memilih untuk tetap tinggal kala itu. Yah seperti yang dinasihatkan Aisyah, Ken gak boleh egois. Ken harus berfikir bagaimana keadaan mamaknya. Ken semakin mengurungkan niatnya untuk bilang ke ibu kalo Ken demam. Yang hebatnya, demamnya kambuh kalau Ken benar-benar sudah merasa nyaman dan aman. Kalau Ken sedang berada di luar kamar, Ken seperti orang sehat. Tidak terlihat sedikitpun tanda-tanda kedemaman itu. Ken menikmati hal ini. Tak apalah fikirnya, yang penting hubungan yang mereka jalin tetap baik.
Benarlah adanya. hubungan Mereka semakin lama semakin membaik. Bulan pertama, kedua, ketiga, Mereka lalui bersama. Dengan canda tawa dan rasa senang. Rasanya hidup ini tanpa beban. Ken senang, Ken punya keluarga dan mendapatkan kasih sayang. Tapi agaknya, salah memang sudah menjadi hal yang tidak lepas dari manusia. Jadi gini, waktu itu sekolah Mereka ngadain Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK). Karena nama Ken tercantum sebagai salah seorang anggota dari OSIS, yaudah kebetulan ini juga agenda terakhir OSIS yah mau gak mau Ken harus turut serta untuk menyemarakkan acara ini.
Mereka tidur di sekolah selama seminggu dan sudah ditentukan jadwal piketnya. Ken piket di gelombang 2 hari kamis. Karena kebetulan ini bulan Ramadhan, jadi persiapan untuk sahur dan berbuka puasa harus benar-benar pas. Hari pertama, buka puasa bersama yang pertama. Ken pergi dari rumah bersama-sama dengan ibu dan anak-anak. Sebagai panitia, Ken harus langsung lari ke dapur untuk membantu mempersiapkan semuanya. Setelah sholat maghrib Ken membantu mencuci piring dan kemudian mempersiapkan makan malam sebelum sholat isya. Kemudian membantu mencuci piring lagi. Ketika membantu mencuci piring, Ken sudah tidak menemukan ibu. Temennya bilang kalau ibu sudah pulang. Ken belum minta izin untuk tidur di sekolah malam ini. Ken pun mengambil hapenya dan mengetik pesan,
“Assalamu’alaikum, buk. Ken minta izin terlambat pulang, soalnya ini belum selesai tugasnya.” Begitulah kira-kira pesan yang dia kirim.
Belum ada balasan dari ibu. Dia ketik pesan lagi, “Buk, Ken minta izin tidur di sekolah yah buk. Sekalian untuk membantu mempersiapkan makan sahur besok pagi.” Begituah bunyi pesan yang kedua. Tiba-tiba temannya si Irma bertanya,
“Ngapain, Ken?”
“Ngirim sms ke ibu kalo aku tidur di sekolah.” Jawabnya.
“Aduh, Ken. Ibu gak suka kalo pake sms gitu Ken. Udahlah, pulang aja dirimu. Ntar malah bermasalah.” Saran Irma.
“Iya ma? Aku gak tahulah… yaudah aku pulang ya ma.” Mungkin Irma ada benernya, biar bagai manapun, ibu adalah wali kelasnya Irma. Jadi sedikit banyaknya Irma lebih mengerti akan hal ini.
Sesampainya di rumah, Ken berusaha membuka pintu dengan kunci duplikat yang dia pegang. Ternyata tidak bisa. Dia pencet bel rumah, dia ketuk, dan sambil berucap, “Assalamu’alaikum. Ibu…” teriaknya.
Tetap tidak ada jawaban. Dia menunggu di depan rumah. Duduk, berdiri, mondar-mandir, itulah yang dilakukan hingga jema’ah sholat tarawih selesai melaksanakan ritual sholatnya. Karena tak kunjung dibukakan pintu ataupun sahutan. Dia memutuskan untuk mengirim sms lagi,
“Buk, ken udah di depan rumah.” Begitulah kira-kira.
Tapi tetap tak kunjung ada kabar. Dia berniat untuk tetap menunggu di depan rumah hingga besok pagi. “Besok pagi kan ibu bakal buka pintu.” Fikirnya. Tapi, dia berfikir ulang dan akhirnya memutuskan untuk kembali ke sekolah. Teman-teman heran melihat kedatangan ken. Dia pergi ke dapur umum dan duduk di sana.
“Loh, kok balik lagi ken?” Tanya salah seorang guru, pak Anto.
“Iya pak, pintunya gak bisa dibuka.” Jawab Ken.
“Tapi megang kunci duplikat.”
“Iya pak, tapi gak bisa. Mungkin kunci yang dari dalam enggak diambil. Maksudnya tetap tergantung di pintu, jadi kunci yang ken pegang gak bisa masuk untuk membuka.” Jawab ken.
“Udah dipanggil ibunya?”
“Udah pak, tapi gk ada jawabannya.”
“Yaudahlah, tidur di sekolah aja.”
Ken pun tidur di sekolah tepatnya di ruang panitia dengan beberapa panitia lainnya. Hamper tengah malam menjelang, ken belum juga mampu untuk memejamkan matanya.dia pun keluar dari ruangan itu dan berjalan ke arah dapur. Ternyata masih banyak orang yang belum tidur. Baik itu dari panitia atau guru. Ken ikut bergabung bersama mereka. Mereka berbincang-bincang sambil menikmati teh hangat yang telah tersaji. Ternyata ada yang memperhatikan mereka, yaitu beberapa orang dari pemateri LDK itu sendiri.
Terjadi perdebatan singkat waktu itu. Dimana, pemateri tidak setuju dengan adanya perkumpulan itu. Tapi, karena mereka berkumpul juga gak ngapa-ngapain yah pasti panitia juga gak terima dengan sikap si pemateri yang terlalu mengurusi kegiatan panitia.
“Enggak, masak peserta tidurnya kita bedakan antara lelaki dan perempuan. Tapi kok panitia malah berkumpul antara lelaki dan perempuan? Apa lagi ini sudah malam.” Ungkap salah seorang pemateri.
“Kami kan gak tidur bareng. Kami juga di pisahin tidurnya. Lagian kami di dapur juga Cuma ngobrol.” Tangkis salah seorang panitia.
“Ya tapi kan gak enak kalo ada peserta yang lihat. Kita ini dalam rangka pesantren kilat (sanlat)” Si pemateri berceloteh lagi.
“Aduh, maaf yah bang. Acara kita bukan acara sanlat. Perlu abang pahami, tugas abang sebagai pemateri disini. Kalo abang Tanya ke kami, kenapa kami masih berkumpul dan bergabung antara lelaki dan perempuan itu hak kami donk. Entah ada yang harus kami bahas. Karena kami panitia, jadi kami harus berfikir extra untuk acara ini. Sementara abang? Kenapa masih berkeliaran di luar padahal ini sudah tengah malam? Apalagi abang juga bersama temen perempuan abang.”
“Kami kan ngecek peserta.”
“Sudah ada panitia yang mengurus hal itu bang. Jadi sebaiknya, abang istirahat di tempat yang sudah kami sediakan. Siapkan diri abang serta siapkan materi yang akan disampaikan esok hari.”
Perdebatan itu pun selesai dengan cara yang tidak baik. Ken yang sedikit gemeteran karena kaget melihat hal itu seketika menjatuhkan handphone yang di genggamnya. Dengan wajah lesu dia menarik nafas seperti orang kelelahan setelah berlari. Teman-temannya memandang ke arah ken.
“Kenapa ken?” Tanya yesi.
“Takut yes.”
“Takut apa?”
“Takut kalo kalian tadi bakal bertengkar hebat.”
“Ya ampun ken. Tadi kan Cuma adu mulut aja. Enggak apa-apa kok.”
“Iya, tetap aja shock yes.”
“Hm,,, katanya kuat. Masak gitu aja udah keok?”
“Is apa sih?”
Setelah berbincang-bincang, malam semakin larut. Mereka tidur pada tempatnya. Dapur sunyi, fajar menyingsing. Waktu sahur tiba. Panitia kembali sibuk memasak untuk makan sahur seluruh peserta, pemateri, beserta panitia dan lain-lain.
“Makan yang banyak ken.” Kata pak Anto.
“Iya pak.”
Mungkin pak anto tahu kalo temen-temen ken bertanya-tanya kenapa ken disuruh makan banyak. Tanpa ditanya pun pak anto menjelaskan, “Ken harus makan banyak. Hari ini dia harus bekerja ekstra. Dia bertugas di dua tempat. Di sekolah dan di rumah.”
Ken tersenyum mendengar penuturan pak anto. Ken merasa lebih diperhatikan. Ken gak tahu, gimana perasaan temen-temennya yang lain. Karena yang makan sahur di dapur itu banyak sekali. Setelah semua selesai, makan sahur, sholat shubuh dan membereskan semuanya. Ken memutuskan untuk pulang. Dia berjalan menuju rumah dengan hati yang gak karuan. Sesampainya di depan rumah, dia mengetuk pintu dan, “Assalamu’alaikum.”
“Wa alikum salam. Siapa?” sahut dari dalam.
Bersambung…


Aku ini harus bagaimana?
“Perahu kertas ku kan melaju, mengikuti kemana air mengalir. Kubiarkan dia berlari berlomba dengan arus. Hingga akhirnya, siapakah duluan yang akan sampai di muara. Perahu kertasku atau arus air itu. Aku mengerti, perahuku hanyalah perahu kertas. Jangankan untuk sampai ke muara, mungkin seperempat perjalananpun dia akan habis dimakan air. Biarpun begitu, aku tetap optimis kalau perahu kertasku akan sampai di muara.
Saat ini, kehidupan yang kualami seperti perahu kertas itu. Berlari berlomba dengan arus. Aku tahu, nasib tidak bisa kurubah. Tapi aku yakin, itu bisa kurubah. Meskipun aku sadar, aku dan takdirku akan bersama-sama menuju rahmatullah. Seperti perahu kertas dan arus air, mereka akan sampai di muara itu bersama-sama.
Untuk menuju muara, perahu kertas tidak boleh rusak, walaupun siperahu akan terhalang oleh halang rintang. Oleh karena itu, perahu itu kubalut dengan plastic. Ide menarik, fikirku. Sama juga sepertiku, untuk menghadapi halang rintang yang akan aku temui, aku membalut diriku dengan kekuatan. Apakah itu kekuatan dari diriku atau dari orang-orang sekitarku (bukan pake obat kuat juga kelles).”___Ken___
Ken ingat waktu Ken kelas 2 aliyah dulu, temennya yang bernama Aisyah bilang, “Temenku yang paling kuat itu kau, Ken.”
Ken hanya tersenyum, “Benarkah itu?” fikirnya.
Suatu hari Ken bercerita pada Aisyah, “Aku gak kuat Sah. Aku mau pergi aja dari rumah itu. Beliau sudah memberikanku 2 pilihan.”
“Ingat mamakmu, Ken.” Ucapnya singkat.
Ken pun mengiyakan kata-kata aisyah. Ken mengurungkan niatnya untuk pergi dari rumah itu. Ken mencoba untuk bertahan, demi apapun itu untuk kebaikan. Hidup yang seperti terbolak-balik ini membuatnya tak mengerti. Kisah cinta yang nyarajut malah seperti benang nyasut yang tidak bisa untuk diuraikan lagi. Kisah cinta yang tak seharusnya terjadi, yang tak seharusnya diangkat kepermukaan. Gossip demi gossip di sekolah dia hadapi. Jenjang karir pun dia tapaki. Kehidupan berorganisasi yang dia inginkan sejak kecil pun dia tempuh. Rasanya campur aduk, dan kerinduannya akan mamaknya yang terus menonjol membuatnya semakin ingin cepat-cepat lulus.
12 April 2012 menjadi akhir dari karirnya disekolah. Sebagai penutupan, Ken diberi kesempatan untuk mengucapkan kata kesan dan pesan mewakili kelas XII putri secara keseluruhan. Kemudian Mereka berjuang selama 4 hari dalam Ujian Nasional. Mengikuti UN untuk yang ke-2 kalinya sangat membuatnya deg-degan. Pukul 4 pagi Ken sudah terbangun, kebetulan di rumah itu juga banyak anak-anak sekolah yang ingin melaksanakan UN di sekolahnya. Situasi sangat ramai. Pukul 07.00 tepat Ken kesekolah. Dia pandangi gedung bercat orange cerah bertingkat 2 itu. Ken memandang tempat Ken mendaftar sekolah dulu, perjuangan di podium, kisah di kelas, semua sudut yang ada tanpa terkecuali tiang bendera dan juga lapangan.
Beliau lewat di hadapan ken, kebetulan beliau juga mengawas UN yang berlangsung. Beliau tersenyum pada Ken memberi semangat. Ken pun membalas senyumannya. Beliau sangat menyayangi ken. Beliau ibunya ken, ibu yang sudah seperti mamak buat ken. Beliau menjaga dan merawat ken, beliau mendidik dan mengajari ken, beliau guru ken disekolah sekaligus fatner kerja ken di rumah. Beliau mempunyai sepasang anak, yakni 1 perempuan dan 1 lelaki. Mereka seperti keluarga kecil yang saling melengkapi. Beliau selalu mentransfer ilmu yang berguna buat ken, baik itu ilmu Al-Qur’an dan Hadis serta ilmu memasak sekalipun. Ken menyayangi beliau, karena biar bagaimanapun beliau sudah memberi banyak hal untuk ken. Baik itu moril dan materil.
Tapi, yah begitulah Ken. Entah hidupnya yang emang sudah ditakdirkan untuk digandrungi masalah atau memang Ken yang selalu salah hingga selalu saja timbul masalah. Entahlah, Ken sendiri tak mengerti. Mungkinkah itu garisan Illahi? Suatu hari guru fisika Ken melihat telapak tangan kirinya sambil tersenyum…
“Kenapa, Pak?” Tanya Ken.
“Garis tanganmu itu lho, Ken.” Jawab gurunya itu.
“Iya kenapa, Pak.”
“Kamu dari kecil sudah punya masalah ya?”
Dia ingat-ingat lagi masa kecil yang memang tidak akan dia lupakan itu. Dan seketika Ken menjawab, “Iya kayaknya, Pak.”
“Hmm, kalo’ bapak lihat sih kamu harus bersiap-siap dan harus lebih kuat lagi Ken.”
“Untuk apa, Pak?”
“Ya untuk menghadapi masalah kamu selanjutnya.”
“Owgh gitu ya pak.”
“Iya, Ken.”
“Trus nanti saya kuliah gak pak? Orang tua saya setuju gak kalo saya kuliah?” Tanya Ken.
“Insya Allah kalau ada kemauan pasti ada jalannya Ken. Awalnya orang tua kamu mendukung Ken. Tapi di pertengahan nanti ada kendala yang mungkin menyebabkan kamu untuk berjuang sendiri, Ken.” Jelasnya.
“Trus pak, masalah cinta atau persahabatan?” tiba-tiba temennya ken, si putri menanyakan hal itu.
“Kalau masalah cinta, sepertinya dia akan lama. Dalam artian, dia sukses dulu. Orangnya harus lebih tua dari dia. Nah, untuk persahabatan mungkin dia harus sedikit lebih bersabar. Ketika dia sedang menghadapi masalah atau membutuhkan, temannya satu per satu akan menjauh.” Jelas pak guru lagi.
“Menjauhnya itu karena kesalahannya atau gimana pak? Maksudnya karena sifatnya atau gimana gitu pak?” si putri berceloteh lagi.
“Enggak put. Bukan karena kesalahannya. Tapi, memang udah gitu jalannya. Dia bakalan punya temen banyak, tapi kalo dia sedang bermasalah ya temennya itu menghilang. Gak tau pada kemana.” Jelas gurunya lagi.
Ken hanya senyum-senyum gak jelas. Trus Ken bisa apa? Waktu itu Ken hanya berfikir, “Kalo memang gitu yaudah, mau digimanan lagi coba?” mungkin ini hanya sepenglihatan guru fisika Ken itu. Kata orang kita gak boleh meyakini yang begitu-begituan, karena bisa tergolong musyrik yaitu percaya pada ramalan. Tapi, kadang-kadang memang kejadian loh. Entah itu terjadi karena keyakinan kita atau memang si bapak yang agak pande ngelihat hal-hal yang ada di garis tangan ini. Wallahu A’lam.
Kembali ke omongan masalah yang gak lepas dari dentingan waktu di telinga Ken. Itulah Ken, sudah dibantu tapi malah buat masalah. Waktu itu, (Ken agak demam) Ken gak berani bilang ke beliau (maksudnya ibu). Pulang sekolah Mereka bareng. Temennya si Dyah datang ke rumah buat nanyain apa gitu? Anak perempuan ibu minta dibuatin susu, Ken bilang sebentar, sebentar lagi, sebentar, dan sebentar. Hingga akhirnya ibu mutusin buat susu sendiri unuk anaknya. Setelah selesai berbicara dengan Dyah, Ken masuk ke dalam dan suasana di dalam hening. Ibu dan anaknya sudah masuk ke kamar mereka. Karena Ken yang memang agak kurang fit memutuskan untu masuk ke kamarnya juga. Ken tertidur kemudian Ken terbangun dan ingat bahwa piring belum dicuci. Ken keluar kamar. Ken lihat ibu di dapur,
“Ibu mau bicara sama Ken.” Ucap ibu.
“Bicara apa, Buk?”
“Dari awal sebelum Ken ke rumah ini kan ibu sudah mengatakan kalau ibu itu cerewet. Belum ada satu bulan Ken di sini, tapi udah begini. Kalau sudah tidak mau lagi di sini yasudah. Cari aja kos yang lain. Paham?” (beginilah agaknya yang ibu bilang seingatnya).